Kayatogel Kakekpro Rajaslotter Permai99 QQOnline303 Pusatslot Ghacor
Bisnis Telko Bisa Jadi Game Changer Ini Penyebabnya

Industri telekomunikasi memiliki peran penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, meningkatkan pemerataan ekonomi, memberdayakan berbagai sektor, dan meningkatkan kualitas layanan publik, seperti pendidikan dan kesehatan. Prof. Dr. Poppy Sulistyaning Winanti, seorang guru besar di bidang Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada, mengakui signifikansi industri telekomunikasi dalam konteks ekonomi suatu negara.

Prof. Poppy menjelaskan bahwa saat ini, pertumbuhan ekonomi sangat dipengaruhi oleh aktivitas ekonomi digital. Tanpa dukungan kuat dari industri telekomunikasi, pertumbuhan ekonomi digital akan terhambat. Oleh karena itu, industri telekomunikasi memainkan peran kunci dalam mendukung pertumbuhan ekonomi, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di tingkat global. Dalam kawasan ASEAN, pertumbuhan ekonomi digital Indonesia menunjukkan pertumbuhan tertinggi. Oleh karena itu, peran pemerintah dalam menjaga pertumbuhan dan kelangsungan industri telekomunikasi nasional sangat penting.

Namun, disayangkan bahwa pertumbuhan dan kelangsungan industri telekomunikasi saat ini dihadapi oleh berbagai tantangan yang signifikan, termasuk tingginya beban regulatory cost. Prof. Poppy menyoroti bahwa tanpa regulasi yang memadai untuk mengurangi regulatory cost, Indonesia dapat menghadapi penurunan peringkat di Harvard Business Review, yang dapat menggambarkan negara sebagai “watch out” atau berisiko tinggi. Saat ini, Indonesia berada pada posisi “break out” dengan potensi pertumbuhan ekonomi digital yang besar, tetapi masih dihadapkan pada sejumlah kendala yang harus diatasi.

Dalam konteks ini, penting bagi pemerintah untuk mengambil tindakan yang tepat dalam menyusun regulasi yang mendukung industri telekomunikasi, mengurangi biaya regulasi, dan memberikan dorongan bagi pertumbuhan ekonomi digital. Dengan langkah-langkah yang cerdas dan berkelanjutan, industri telekomunikasi Indonesia dapat terus menjadi faktor pendorong penting dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan, serta meningkatkan kualitas layanan publik untuk masyarakat.

Literasi Digital Jadi Faktor Utama?

Indonesia masih menghadapi berbagai hambatan dalam perjalanannya untuk “naik kelas” di dunia digital. Sejumlah tantangan utama mencakup literasi digital yang rendah, kesenjangan digital yang meluas di masyarakat, masalah infrastruktur telekomunikasi, kompleksitas regulasi dalam pengembangan infrastruktur telekomunikasi, serta tingginya biaya regulasi. Prof. Poppy Sulistyaning Winanti, seorang ahli di bidang Ilmu Hubungan Internasional, menjelaskan bahwa ketika regulatory cost tinggi, ini berdampak negatif pada peringkat Indonesia, dan jika tidak segera diatasi, Indonesia bisa turun peringkat hingga mencapai kategori “watch out,” yang umumnya ditemui di negara-negara di Afrika. Upaya peningkatan dalam literasi digital, mengatasi kesenjangan digital, serta reformasi regulasi sangat penting untuk mencegah penurunan peringkat tersebut.

Menteri Komunikasi dan Informatika, Budi Arie Setiadi, mengungkapkan kekecewaannya terhadap kualitas internet Indonesia yang hanya berada di peringkat kesembilan dari sepuluh negara di ASEAN. Bahkan secara global, Indonesia berada pada peringkat ke-98 dari 143 negara dalam hal kualitas dan kecepatan internet. Poppy Sulistyaning Winanti menyoroti bahwa salah satu faktor yang berkontribusi pada kualitas internet yang rendah adalah tingginya regulatory cost bagi operator telekomunikasi. Dengan biaya regulasi yang tinggi, industri telekomunikasi nasional kehilangan daya saingnya dan hal ini berdampak pada perekonomian Indonesia secara keseluruhan.

Data dari empat operator besar di Indonesia menunjukkan tren kenaikan biaya pendapatan hak pemakaian (BHP) frekuensi yang signifikan setiap tahunnya. Dari tahun 2013 hingga 2022, terjadi peningkatan sebesar 12,10% terhadap gross revenue setelah dihitung secara proporsional. Selain itu, komposisi beban BHP frekuensi terhadap pendapatan seluler juga cenderung meningkat, naik dari 6,71% pada tahun 2013 menjadi 11,40% pada tahun 2022. Hal ini disebabkan oleh penggunaan formula perhitungan BHP frekuensi yang selalu mengikuti angka inflasi. Dalam benchmark dari Coleago Consulting, komposisi biaya BHP frekuensi terhadap pendapatan yang dianggap mendukung pertumbuhan industri adalah di bawah 5%. Namun, jika komposisi biaya regulasi tersebut melebihi 10%, maka dianggap tidak mendukung keberlanjutan industri.

Poppy Sulistyaning Winanti menegaskan bahwa Indonesia harus melakukan perubahan mendasar dalam industri telekomunikasi untuk menjaga daya saingnya. Keandalan infrastruktur telekomunikasi menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi minat investasi asing di Indonesia. Reformasi dalam regulasi dan biaya regulasi yang lebih rendah akan menjadi kunci untuk meningkatkan daya saing dan menjaga pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam era digital yang semakin penting.

Keringanan Insentif BHP

Untuk mengurangi regulatory cost, Prof. Poppy Sulistyaning Winanti merekomendasikan agar pemerintah memberikan insentif, seperti keringanan biaya pendapatan hak pemakaian (BHP) frekuensi. Selain itu, pemerintah dapat memberikan insentif lainnya dalam bentuk kemudahan perizinan, seperti perizinan pembangunan menara telekomunikasi, penggelaran serat optik, serta berbagai fasilitas lainnya. Salah satu contoh yang dapat diambil sebagai inspirasi adalah India, yang telah memberikan insentif bagi industri telekomunikasinya.

Pada awalnya, India menerapkan BHP frekuensi yang tinggi. Namun, setelah lelang frekuensi di beberapa pita pada tahun 2015 dan 2016 gagal, pemerintah India mengubah pendekatan dengan menetapkan BHP frekuensi sebesar 0% bagi perusahaan yang mengembangkan jaringan 5G. Keputusan ini berhasil meningkatkan kesehatan industri telekomunikasi India, meningkatkan peringkat broadband secara global, dan mempercepat penetrasi 5G.

Menurut Prof. Poppy, Indonesia bisa mengikuti contoh negara lain yang memberikan insentif BHP frekuensi sebesar 0% selama tiga tahun kepada perusahaan telekomunikasi yang mengembangkan teknologi baru, seperti 5G. Hal ini sejalan dengan fakta bahwa pemanfaatan teknologi 5G masih terbatas pada sektor tertentu. Kemudian, pada tahun keempat, biaya BHP frekuensi dapat disesuaikan dengan penggunaan frekuensi 5G oleh masyarakat setelah ekosistem 5G dibangun. Dengan memberikan insentif BHP frekuensi, diharapkan bahwa kualitas internet di Indonesia dapat meningkat, dan ini berpotensi mendongkrak pertumbuhan ekonomi nasional. Langkah-langkah ini bisa menjadi solusi untuk meningkatkan daya saing industri telekomunikasi dan mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam era digital yang semakin penting.

You Might Also Like